GAMBARAN UMUM :
PPDI sebagai organisasi payung ( umbrella organization ) sesuai keputusan MUNAS IV PPCI di Medan Tahun 2006 beranggotakan beberapa organisasi penyandang cacat a.l. :
FKPCTI
GERKATIN
HWPCI
FKTI
SOINA
KCVRI
PERPARI
FNKCM
Dll.
Sekretariat Perwakilan PPDI Provinsi Sulawesi Selatan beralamat di : Kompleks Maizonet Jl. Melati Raya Blok A.I No. 15 Telp. (0411)869426 ~ Makassar.
Status Gedung masih kontrak sampai dengan tahun 2014. Luas Gedung Sekretariat : 180 m2 ( 12 x 15 m2 )
Populasi Penyandang disabilitas :
Populasi penduduk Sulawesi Selatan : 8.235.489 jiwa ( data 2004 ) penduduk dan 3,11 % dari penduduk tersebut adalah penyandang cacat ( 256.123 jiwa ). Terdiri atas :
1. Tuna Netra 0.9 % : 70.001 jiwa
2. Tuna Daksa 0.85 % : 74.119 jiwa
3. Tuna Rungu Wicara 0.31 % : 25.530 jiwa
4. Tuna Grahita 0.65 % : 53.530 jiwa
5. Ex-Penyakit Kronis 0.4 % : 32.941 jiwa
Organisasi Penyandang Cacat & SLB :
Organisasi Penyandang cacat di Sul-Sel : 12 Orsos/YayasanOrsos/ Yayasan UKS Penca :
1. FKPCTI
2. HWPCI
3. BPOC
4. PERTUNI
5. GERKATIN
6. KCVRI
7. SOINA
8. YAPTI
9. YPAC
10. YUKARTUNI
11.YPKCNI
12. YBM
Data Sekolah Luar Biasa
SLB Bagian A : 3 buah
SLB Bagian B : 2 buah
SLB Bagian C : 1 buah
SLB Bagian D : 2 buah
SLB Bagian E : 2 buah
Tugas Pokok dan Usaha PPDI :
1. Mengadakan koordinasi, konsultasi dengan organisasi kecacatan dalam rangka peningkatan mutu dan pelayanan kesejahteraan penyandang cacat.
2. Memberikan masukan kepada Pemerintah dalam upaya peningkatan kebijaksanaan dan program dibidang kesejahteraan penyandang cacat.
3. Melindungi dan memperjuangkan kepentingan penyandang cacat dan organisasi penyandang cacat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosialnya.
Usaha Usaha yang dilaksanakan PPDI :
1. Turut memasyarakatkan peraturan perundang-undangan serta kebijaksanaan Pemerintah dalam Usaha Kesejahteraan Sosial bagi penyandang cacat.
2. Menjembatani kepentingan para penyandang cacat dengan Pemerintah dan masyarakat.
3. Membina keakraban, kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial antar penyandang cacat dan antara penyandang cacat dan masyarakat.
4. Bersama Pemerintah dan masyarakat mendorong, menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran diri, harga diri, kemauan dan kemampuan penyandang cacat agar secara mandiri dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan serta dalam Pembangunan Nasional.
5. Menggali dan meningkatkan potensi sumber daya dan dana yang berasal dari masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri.
Kendala2 yang dihadapi Perwakilan PPDI Prov. Sulawesi Selatan :
1. Belum adanya sarana Gedung Sekretariat dan Tempat Usaha/ Kegiatan yang tetap dan representatif. Sekretariat yang selalu berpindah-pindah karena waktu sewa/ kontrak habis. Sehingga untuk melakukan usaha sering ter-sendat2.
2. Masih kurang/ lemahnya SDM Penyandang Cacat pada umumnya dan Pengurus khususnya.
Kecilnya dana operasional, tidak cukup mengcover semua kegiatan yang telah direncanakan.
3. Kurangnya kesadaran sebagian besar penyandang cacat tentang organisasi penyandang cacat atau tentang organisasi.
Faktor2 Penunjang Keberhasilan Organisasi :
1. Adanya dukungan moril maupun materiil dari Pemda Sulawesi Selatan ( Gubernur ), dan para donatur pemerhati sosial..
2. Masih adanya Pengurus yang mempunyai dedikasi kuat untuk memberdayakan organisasi.
1). Masalah Pendataan Penyandang Disabilitas di Kota Makassar yang tidak akurat.
Salah satu permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kota Makassar dimulai dari pendataan. Berbagai institusi melakukan pendataan dengan istilah – istilah disabilitas yang berbeda-beda dan jumlah yang tidak sama. Ada juga dengan methode estimasi. Misalnya dalam istilah ada yang memakai orang dengan gangguan penglihatan, orang dengan kecacatan, orang dengan kesulitan mendengar dan di organisasi disabilitas dikenal tuna daksa, tuna netra, tuna rungu dan tuna grahita. Sedangkan hasil methode estimasi juga ada perbedaan. Misalnya WHO memberi estimasi 5 – 10 % dari populasi penduduk adalah penyandang disabilitas, Kemensos memberi estimasi 3,11 % dan organisasi disabilitas memberi estimasi 0,9 ~ 1 %. Kalau berdasarkan estimasi mengindikasikan ketidakakuratan data. Ketidakakuratan data mengakibatkan program-program pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan dan berhasil dengan baik. Berdasarkan pendataan hasil kerja sama Departemen Sosial R.I. dan Surveyor Indonesia pada tahun 2008 adalah terdapatnya jumlah penyandang disabilitas ( 34.510 orang ) di Propinsi Sulawesi Selatan yang tersebar di 24 Kota/ Kabupaten. Sedangkan populasi penyandang disabilitas terdata di Kota Makassar sebanyak 2.250 orang yang terdiri atas 1.794 orang penyandang disabilitas fisik, 242 orang penyandang disabilitas mental dan 214 orang penyandang disabilitas fisik dan mental ( ganda ). Terdiri atas : 1.390 laki-laki ( 62% ) dan 860 perempuan ( 38% ).
Berdasarkan kelompok umur maka terbagi a.l. :
• Kelompok umur 0 – 4 tahun : 47 orang• Kelompok umur 5 – 17 tahun : 430 orang
• Kelompok umur 18 – 60 tahun : 1.451 orang
• Kelompok umur 61 – keatas : 322 orang
Berdasarkan tingkat ketergantungan terbagi menjadi :
• Tingkat ketergantungan ringan : 1.221 orang
• Tingkat ketergantungan sedang : 517 orang
• Tingkat ketergantungan berat : 512 orang
Berdasarkan status bekerja penyandang disabilitas :
• Tidak bekerja : 2.015 orang
• Bekerja ( formal & informal ) : 235 orang
Berdasarkan tingkat pendidikan terbagi menjadi :
• Tidak sekolah : 1.583 orang
• SD : 297 orang
• SMP : 165 orang
• SMA : 176 orang
• D1/D2 : 4 orang
• D3 : 3 orang
• S1 : 19 orang
• S2/ S3 : 3 orang
Sedangkan berdasarkan Sensus BPS Tahun 2010 jumlah penyandang disabilitas di Kota Makassar jauh lebih besar yaitu sebanyak 93.629 orang dengan istilah berbeda seperti tertera dibawah ini :
NO JENIS DISABILITAS TINGKAT KETERGANTUNGAN RINGAN ~ SEDANG PARAH
1 Kesulitan Melihat ( Disabilitas Netra ) 40.855 2.757 43.612
2 Kesulitan Mendengar ( Disabilitas Rungu / Wicara ) 11.373 1.778 13.151
3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga ( Disabilitas Daksa ) 10.901 2.686 13.587
4 Kesulitan Mengingat /Berkonsentrasi /Berkomunikasi ( Disabilitas Grahita )9.486 2.422 11.908
5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri ( Disabilitas Ganda ) 8.786 2.585 11.371
JUMLAH 81.401 12.228 93.629
2). Masalah Aksesibilitas baik fisik maupun non fisik
Permasalahan penyandang disabilitas adalah sangat kompleks. Bukan hanya masalah pendataan saja. Juga keterbatasan aksesibilitas baik fisik maupun non fisik para penyandang disabilitas untuk melakukan aktifitas sesuai dengan jenis kedisabilitasannya, seperti terbatasnya aksesibilitas yang tersedia terutama pada prasarana umum, baik itu bangunan kantor, bangunan pendidikan, bangunan kesehatan, Mall-Mall, Kantor-kantor perusahaan, terminal maupun di Pelabuhan dan Bandara. Tapi juga ada masalah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pelatihan, rehabilitasi, akses informasi dan teknologi, transportasi, politik, keamanan, hukum, olahraga dan berusaha. Penyandang disabilitas di Kota Makassar yang jumlahnya 2.250 orang (disabilitas tubuh, disabilitas Netra, dan Disabilitas ganda) memerlukan bantuan penyediaan aksesibilitas sesuai dengan kedisabilitasannya.
• Aksesibilitas Fisik : Sebagai barometer implementasi aksesibilitas fisik di Kota Makassar bisa dilihat di Kota Makassar. Sesuai survey aksesibilitas fisik ada sekitar 0,1 % fasos dan fasum yang menyediakan aksesibilitas fisik di Kota Makassar. Sekitar 14 tempat di Kota Makassar sudah menyediakan aksesibilitas Fisik walaupun belum memenuhi standard yang sesuai peraturan. Ke 14 tempat itu a.l. :
1. Kantor Gubernur Sulawesi Selatan.
2. Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya ( PSBDW ) Makassar.
3. Bank Tabungan Pensiun Nasional ( BTPN ).
4. Jalan Sudirman.
5. Mesjid PU ( Pekerjaan Umum ).
6. Mesjid Raya.
7. Kantor Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Makassar.
8. Kantor Pos Besar di Jalan Slamet Riyadi.
9. SLB Pembina Parang Tambung.
10. Madrasah Ibtidaiyah Kalukuang.
11. Karebosi Links.
12. Hotel Horison.
13. Rumah Sakit Grestelina.
14. Bandara Sultan Hasanuddin.
Itupun kantor-kantor pemerintah mendapatkan bantuan dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Makassar sebagai contoh untuk ditindaklanjuti oleh pihak yang dibantu. Namun kenyataannya semua pihak yang dibantu, tidak berusaha untuk menyempurnakannya. Dan banyak dari instansi yang dibantu tidak paham apa itu aksesibilitas. Hal ini menunjukkan indikasi kurangnya kesadaran dan kepedulian baik di kalangan birokrat maupun masyarakat lainnya. Apalagi aksesibilitas di bidang transportasi. Sampai sekarang belum ada satupun angkutan umum ( bus ) yang menyediakan tempat duduk bagi penyandang disabilitas. Kekurangan aksesibilitas fisik di bidang2 a.l : pendidikan (sekolah2), kesehatan (Rumah Sakit), transportasi ( kendaraan umum dan terminal2), olahraga (stadion dan sarana olah raga) dlsb. Trotoar2 sepanjang jalan yang seharusnya aksesibel bagi penyandang disabilitas dan merupakan hak pejalan kaki , kondisinya sangat memperihatinkan dari sisi ketentuan standard aksesibilitas. Sedangkan Kota/ kabupaten lain sangat tidak memperhatikan masalah aksesibilitas fisik bangunan dan lingkungan.
• Aksesibilitas non fisik : di bidang hukum, informasi, telekomunikasi, regulasi, politik, ekonomi, sosial, budaya dlsb. yang semuanya sangat menghambat peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas.
3) Masalah di bidang Pendidikan :
SDM penyandang disabilitas terutama di bidang pendidikan masih sangat ketinggalan. Masih banyak institusi pendidikan yang belum mengetahui tentang penyandang disabilitas dan masalah kedisabilitasan serta belum menghayati UU Penyandang Cacat No.4/ 1997, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan PP No.43 / 1998 selanjutnya di tingkat Propinsi sudah ada Peraturan Gubemur Sulawesi Selatan Nomor : 31 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi Selatan, namun faktanya masih banyak penyandang disabilitas usia sekolah kurang memperoleh akses ke pendidikan. Sekolah reguler yang ditunjuk sebagai Sekolah Inklusi sesuai SK Gubernur ada 278 sekolah di 18 Kota/ Kabupaten. Terbanyak ada di Kota Makassar yaitu 134 sekolah. Namun sekolah-sekolah inklusi yang ditunjuk, belum menunjukkan kualitas inklusi sesuai amanat Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Kurangnya aksesibilitas di bidang pendidikan menyebabkan banyak penyandang disabilitas yang pendidikan formalnya hanya sampai SD saja, bahkan lebih banyak yang tidak sekolah. Maka untuk mencari pekerjaan dengan modal ijazah SD adalah sangat sulit dan jika ada maka hanya bisa jadi buruh kasar dengan upah yang rendah. Jika kebetulan pekerjaannya menuntut kemampuan fisik yang berat dan penyandang disabilitas tidak mampu, maka jadilah pengangguran. Akses ke pendidikan yang sulit ini disebabkan a.l. :
1) Beberapa sekolah tidak menerima siswa penyandang disabilitas dengan alasan :
a) Tidak memiliki guru khusus yang bisa menangani penyandang
disabilitas.
b) Bisa menurunkan status sekolah
c) Tidak siap dengan sarana dan prasarana aksesibilitas.
d) Kurang pahamnya pihak sekolah akan arti pendidikan sebagai
hak dasar setiap warga negara.
2) Masih ada pandangan baik di kalangan guru maupun masyarakat bahwa penyandang disabilitas hanya cocok di Sekolah Luar Biasa ( SLB ).
3) Kebanyakan penyandang disabilitas berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi.
4) Jarak yang jauh dari rumah ke Sekolah Luar Biasa yang memerlukan biaya transportasi yang tidak sedikit, sementara sekolah yang dekat dengan rumah tinggalnya tidak mau menerimanya.
4) Masalah dibidang Pelatihan dan Rehabilitasi
Biasanya untuk pelatihan2 vokasional penyandang disabilitas dilatih di Panti- Panti Rehabilitasi atau di Loka Bina Karya (LBK). Panti Rehabilitasi yang ada di Kota Makassar adalah PSBD Wirajaya Makassar yang merupakan UPT dari Kementerian Sosial R.I., sedangkan Loka Bina Karya (LBK) yang hanya satu2 nya yang terletak di Jalan Abd. Dg. Sirua sudah berubah fungsi menjadi rumah dinas. Praktis sekarang Pemerintah Kota Makassar tidak memiliki fasilitas pelatihan vokasional atau Loka Bina Karya. Loka Bina Karya yang ada di Kota/ kabupaten lain selain Kota Makassar banyak yang tidak difungsikan atau tidak berfungsi sebagaimana layaknya fasilitas pelatihan dan juga sekaligus fasilitas rehabilitasi. Hal ini menyulitkan penyandang disabilitas di Kota Makassar untuk mengakses pelatihan2 vokasional maupun pelatihan2 lainnya.
Kurangnya lapangan kerja untuk penyandang disabilitas, padahal kita tahu bahwa UU No. 4 Tahun 1997 dan PP No. 43 Tahun 1998 mewajibkan semua instansi baik Pemerintah maupun swasta menerima 1 % penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau karyawannya. Tapi realitas, sangat sulit bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh kerja baik di sektor swasta maupun pemerintah. Kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang penyandang disabilitas yang umumnya menganggap penyandang disabilitas adalah tenaga yang tidak terampil, tenaga kerja murahan dan sangat membebani masyarakat. Ada pula masyarakat yang masih mempunyai pandangan stereotype dan stigma negative. Bahwa kedisabilitasan adalah kutukan ( contoh di lapangan : masih banyak pandangan masyarakat menganggap bahwa seorang yang menderita kusta itu adalah mendapat kutukan ) atau jika berjumpa dengan penyandang disabilitas bisa menimbulkan kesialan ( contoh di lapangan : sopir angkot yang tidak mau mengambil penumpang tuna netra dengan alas an bisa membuat sial atau kurang rejekinya ). Kesadaran demikian sangat mempengaruhi kondisi sosial & ekonomi penyandang disabilitas, karena hal tersebut bisa mempengaruhi sulitnya penyandang disabilitas dalam mencari pekerjaan untuk penghidupannya. Jika ada perusahaan/ masyarakat yang mau mempekerjakan penyandang disabilitas maka upahnyapun sangat minim. Di sektor pemerintah jumlah penyandang disabilitas yang bekerja sekitar 20 orang dan di sektor swasta sekitar 20 orang. Sedangkan jumlah Pegawai Negeri Sipil di Kota Makassar sekitar 14.368 orang (Data Tahun 2009) dan jumlah karyawan di sector swasta sekitar 80.000 orang. Berdasarkan Undang-undang seharusnya pekerja penyandang disabilitas sekitar 1% dari 94.368 orang yaitu 943 orang. Namun realitasnya baru sekitar 40 orang. Artinya baru 0,04 % dari jumlah seharusnya.
Kita sama2 tahu bahwa kondisi Negara sekarang ini dimana-mana konflik dan ricuh. Hal ini menciptakan suasana yang tidak aman dan tidak nyaman bagi warga Negara yang menginginkan kedamaian dan ketenangan. Tidak terkecuali di Kota Makassar, walaupun kondisi keamanan masih terkendali. Kondisi seperti itu bukan tidak mungkin bisa terjadi chaos dimana-mana. Keamanan bagi penyandang disabilitas yang kebanyakan sangat sulit mobilitasnya akan sangat beresiko ketika kondisi keamanan tidak terkendali. Penyandang disabilitas memerlukan perlindungan dan perlakuan khusus, utamanya penyandang disabilitas perempuan dan anak. Jelas ini memerlukan penanganan khusus dan harus didahulukan jika terjadi suatu konflik. Selain masalah keamanan diatas, juga partisipasi penyandang disabilitas dalam bidang politik masih sangat terhambat untuk menyalurkan aspirasi politiknya baik untuk memilih maupun untuk dipilih. Masalah pemilihan umum kepala daerah ( pemilukada ), dimana setiap warga Negara yang sudah mempunyai hak pilih termasuk penyandang disabilitas berhak untuk memilih dan dipilih. Dalam hal hak memilih, seorang penyandang disabilitas harus memilih di TPS. Namun kenyataan memperlihatkan pada kita banyak sekali tempat2 TPS yang berlokasi di tempat2 yang tidak aksesibel, sehingga menghambat partisipasi politik bagi penyandang disabilitas khususnya bagi pengguna kursi roda, penyandang disabilitas netra dan penyandang disabilitas rungu yang kesulitan mendapat informasi. Sedangkan untuk ikut dalam pencalonan legislatif maupun kepala daerah terhambat dengan persyaratan sehat jasmani dan rohani dimana pada persyaratan sehat jasmani dan rohani oleh sebagian dari dokter penguji kesehatan dipersepsikan bahwa disabilitas itu identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani. Persepsi tersebut yang diwujudkan sebagai keterangan sehat oleh dokter, telah ikut andil menghakimi penyandang disabilitas untuk tidak maju dalam pemilihan kepala daerah. Artinya ada diskriminasi di bidang politik.
7) Masalah diskriminasi lainnya :
Di lingkup regulasi, ada beberapa regulasi yang sangat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas misalnya :
(a) UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat (1);
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.
Karena kecacatannya, penyandang cacat dianggap dapat mengganggu atau merintangi atau menghambat partisipasi secara selayaknya.
(b) UU No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 5 ayat (2);
Penyandang disabilitas digolongkan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) digolongkan bersama PSK, Pecandu narkoba, gelandangan, pengemis, dll.
(c) PP No. 18 Tahun 1965 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Peraturan Turunan UU No. 34 Tahun 1965 Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan :
Terkait pemberian santunan kepada korban kecelakaan dalam Pasal 13 butir c, penyandang disabilitas yang menjadi korban kecelakaan tidak mendapat santunan karena digolongkan orang gila dan mabuk;
(d) PP No. 26 Tahun 1977 Tentang Pemeriksaan Kesehatan CPNS dan Pejabat Negara dan Permenkes 143 Tahun 1977 Tentang Tata Laksanan Pengujian Kesehatan PNS dan Tenaga-tenaga lainnya yang bekerja pada Negara Republik Indonesia:
Bersifat diskriminatif; penyandang disabilitas dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani sehingga dianggap tidak mampu bekerja sebagai PNS/karyawan;
(e) Dianggap “orang sakit dan beresiko”, maka penyandang disabilitas yang menumpang pesawat udara diminta menanda tangani pernyataan bahwa apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mereka tidak menjadi tanggung jawab Maskapai Penerbangan.
(f) Berkembang stigma negatif dalam masyarakat dimana kecacatan dianggap sebagai akibat kutukan, dosa, hukuman dari Tuhan atau kuwalat, dikucilkan, diisolasi (dipasung), ataupun dibuang.
Permasalahan penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai permasalahan manusia utuh tetapi dimaksukkan ke dalam kebijakan kesejahteraan residual yang diletakkan di pinggiran. Contohnya masalah aksesibilitas bangunan umum dan transportasi umum sudah dijamin dalam UUD, UU HAM, UU BG, juga sudah ada PP, Peraturan Menteri PU Tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum, Surat Edaran Bappenas tentang alokasi anggaran, bahkan sudah ada Perda dan Instruksi Kepala Dinas, namun belum ada realisasinya di lapangan dan tidak ada sanksi bagi pihak-pihak yang melanggarnya.
Banyak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, memojokkan penyandang disabilitas, dan memposisikan mereka lebih terpuruk karena kecacatannya. Sebagai contoh, karena menjadi penyandang disabilitas maka :
a. Korban kecelakaan kerja yang sakit atau menjadi cacat setelah setahun dapat dipecat/ di-PHK ( UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ).
b. Tidak mendapat santunan karena kecelakaan ( UU Jasa Raharja )
c. Bisa dicerai ( UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan )
Selain itu, belum ada kebijakan affirmative action terhadap penyandang disabilitas, sehingga perlakuan diskriminatif semakin merebak dan meluas. Sejak 1983 di Indonesia sudah berlangsung Tiga Dasawarsa Penyandang Disabilitas, baik internasional maupun Asia Pasifik, namun kini belum ada upaya khusus untuk memampukan penyandang disabilitas dengan menghentikan dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Sejauh ini tidak ada lembaga negara non kementerian yang secara khusus menangani permasalahan penyandang disabilitas, yang memantau perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas secara lintas etnik, usia, golongan, kementerian negara, dan jenis kedisabilitasan. Bahkan, tidak ada penegakan hukum melalui aparat penegak hukum. Lebih memperihatinkan lagi, banyak pelanggaran-pelanggaran yang justru dilakukan oleh negara ( Sumber : Penelitian Assesment Tanggung Jawab Negara oleh Dra. Ariani )
Melihat beberapa payung hukum yang diskriminatif kepada penyandang disabilitas, maka hal tsb. juga sangat mempengaruhi implementasi selanjutnya sehingga penyandang disabilitas sulit mendapatkan akses bantuan hukum. Contoh kasus : Ada seorang penyandang disabilitas perempuan yang di hamili oleh seseorang yang mempunyai pengaruh di masyarakat. Namun orang tuanya sulit mengadukan kasus ini ke polisi, karena mendapat ancaman dari pelaku pelecehan tsb.
Pada kasus pembinaan oleh Pemerintah dimana pemerintah sangat kurang memperhatikan alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan atlet penyandang disabilitas serta pemberian penghargaan/ bonus untuk atlit yang berprestasi. Jika atlit non disabilitas memperoleh medali emas pada tingkat nasional, maka bonusnya sekitar Rp. 85.000.000,--, tapi jika atlit itu penyandang disabilitas walaupun tingkatnya internasional, bonusnya Rp. 15.000.000,--. Jelas ini merupakan diskriminasi karena pandangan stereotip pejabat terkait.
Pada kasus penerimaan PNS. Jika seorang penyandang disabilitas tuna netra mengikuti tes pada salah satu departemen, maka kertas tesnya diberi tanda. Hal ini untuk memudahkan panitia seleksi menyingkirkan penyandang disabilitas tsb. agar tidak masuk ke dalam struktur departemennya.
4). Di bidang pendidikan
Masih banyak penolakan siswa penyandang disabilitas di sekolah2 reguler. Walaupun ada sekolah inklusi, maka yang sering diambil adalah siswa2 non disabilitas namun yang lambat belajar (disleksia), atau yang lambat berhitung (diskalkulia) dan yang lambat menulis (disgrafia).
5). Di bidang kesehatan
Masih banyak penyandang disabilitas yang tidak memperoleh jaminan kesehatan ( Jamkesmas atau jamkesda ).
6). Di bidang Usaha
Banyak penyandang disabilitas yang baru mulai usaha mendapat kesulitan mengakses permodalan baik dari pemerintah atau perbankan atau kooperasi. Selain itu sulit dalam memasarkan produk mereka ( bidang pemasaran ).
7). Di bidang transportasi
Belum ada satupun angkutan umum (bus atau kapal laut) menyediakan tempat duduk atau tempat bagi penyandang disabilitas khususnya pengguna kursi roda. Belum lagi ada peraturan di angkutan udara yang mengharuskan pengguna kursi roda untuk menandatangani formulir yang seharusnya diperuntukkan bagi orang yang sakit parah. Sehingga jika ada kecelakaan pesawat maka penyandang disabilitas tidak memperoleh asuransi.
7) Bidang Kesadaran Publik
Kesadaran publik akan regulasi yang ada, sangat kurang. Kebiasaan melanggar aturan sudah bukan rahasia lagi di kalangan masyarakat. Misalnya aturan lalu lintas yang mengharuskan pengendara kendaraan roda 2 (motor) harus jalan di sebelah kiri. Namun kenyataan hampir 99% masyarakat pengguna motor tidak jalan di sebelah kiri. Mereka jalan sembarangan. Sekadang di kiri, kadang2 di tengah atau menyalip dari kiri. Atau menjadikan trotoar (fasilitas pejalan kaki) dijadikan jalan pintas atau lahan parkir atau tempat pedagang kaki lima. Belum lagi tempat sampah di tengah trotoar atau pohon atau tiang listrik atau tiang telepon atau tiang papan reklame atau rambu2 lalu lintas. Ada trotoar yang memasang rambu2 penyandang disabilitas (bergambar kursi roda). Kemudian tukang becak datang memarkir becaknya ditempat itu. Karena mereka berpikir disitu ada gambar becak. Itu karena mereka tidak paham. Ada juga kebiasaan masyarakat (payabo) yang mengambil rambu2 yang terbuat dari besi untuk dijual. Disini kita melihat adanya kurang pahamnya dengan regulasi yang ada ditambah tidak adanya kesadaran masyarakat akan hak orang lain. Tidak adanya keteladanan dari pemimpin formal, misalnya dalam penggunaan jalan raya umum yang dipakai mendirikan tenda untuk pernikahan anaknya. Hal ini juga membuat masyarakat di bawah mengikuti perilaku pimpinannya. Mereka berpikir sederhana, kalau pemimpinnya seperti itu, kenapa kita yang di bawah tidak boleh mengikutinya. Banyak masalah atau issue yang dilanggar oleh baik pejabat maupun masyarakat. Olehnya itu Pemerintah Kota Makassar harus secara terus menerus mensosialisasikan semua regulasi dan menyadarkan masyarakat untuk mematuhinya.
Selain masalah masalah diatas, masalah penyandang cacat adalah sangat kompleks. Belum lagi masalah kesehatan, perumahan, akses informasi dan teknologi, lingkungan, transportasi dan dana.
Pendanaan Kegiatan dan Sumber2 dana Potensil :
Selama periode 2000 ~ 2011 pendanaan kegiatan selalu dibantu oleh Bapak Gubernur ( Pemda Prov. Sulawesi Selatan ) dan beberapa instansi terkait. AIFO Italia, Swadaya PPDI dalam fund raising dengan berbagai kegiatan. Donatur2 dalam/ luar negeri.Simpatisan2 dan para pemerhati masalah sosial yang tidak sempat disebutkan satu persatu.
PROGRAM - PROGRAM YANG PENTING UNTUK DIBANTU A.L. :
1. BIRO ORGANISASI / HUMAS :
a}. Pembentukan organisasi penyandang cacat di kabupaten/ kota.
b). Kaderisasi sampai tingkat kabupaten/ kota.
2. BIRO PELATIHAN & PENYALURAN KERJA
a). Pelatihan pelatihan keterampilan
b). Penyaluran tenaga kerja penyandang cacat
3. BIRO PENDIDIKAN
a). Bea siswa bagi penyandang cacat dan anak dari penyandang cacat potensial & tidak mampu
4. BIRO KESEJAHTERAAN, AGAMA, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
a). Pembinaan mental rohani penyandang cacat baik secara Islam maupun Kristen atau agama lainnya.
b). Peningkatan SDM penyandang cacat perempuan di semua sektor.
5. BIRO USAHA / DANA
a). Program Dana Bergulir ( Revolving Fund Programme )
b). Pembentukan KUBE - KUBE penyandang cacat
c). Pembentukan Koperasi - Koperasi di setiap DPC PPDI Kabupaten/ Kota
d). Penggalangan dana bagi pengadaan Gedung Sekretariat
e). Penggalangan dana bagi kegiatan lainnya.
6. BIRO PENELITIAN/ PENGEMBANGAN
a). Penelitian data penyandang cacat
b). Penelitian masalah kecacatan
7. BIRO BANTUAN HUKUM
a). Memperjuangkan terbitnya Perda tentang penyandang cacat, khususnya tentang Perda Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Makassar
b). Bantuan advokasi hukum bagi penyandang cacat yang bermasalah.
8. BIRO LUAR NEGERI
a). Meningkatkan network dengan pihak luar negeri.
b) Menggalang lembaga funding yang baru.
Terima kasih.
Wassalam,
Bambang Permadi S.K.
Ketua